Satu Kesalahan Media dan Hukum di Indonesia

Oleh. Arif Rahman Pradana

Satu lagi kasus pemerkosaan di angkutan umum terjadi di kota Bogor. Kejadian tersebut terjadi ketika korban pulang menuju rumahnya pukul 8 malam, pada awalnya korban tidak sendiri dalam angkutan umum tersbut yaitu sekitar 7 orang, namun dalam perjalanan penumpang lain turun dan tinggallah korban yang baru berumur 15 tahun itu dan pelaku.
Kejadian yang persis seperti ini terus berulang, terhitung sudah 3 kejadian semejak Livia mahasiswi Universitas Bina Nusantara yang menaiki mikrolet jurusan Srengseng-Slipi, setelah itu terjadi kepada RS dijurusan angkot Lebakbulus-Ciputat dan terakhir yang di Bogor ini. Kejadian seperti ini kerap berulang setelah di ekspos oleh media, seperti aksi beramai-ramai di Bima, Mesuji, atau peristiwa pembakaran rumah Bupati Bima.
Semakin di ekspos, kejadian tersebut seolah-olah suatu hal yang lumrah karena sering juga terjadi berbagai daerah. Sehingga orang tidak segan melakuan aksi selanjutnya setelah melihat contoh di televisi. Contoh selanjutnya aksi tukang gorengan berplastik. Setelah beritanya ramai di televisi semakin menjamur pula pedagang gorengan yang menggunakan plastik.
Satu hal yang mesti diperhatikan, seharusnya berita di media harus diimbangi dengan ancaman hukuman yang terus disampaikan ketika berita itu disiarkan, dan ancaman hukuman ini harus lebih ditekankan dibanding cerita kehebohan kejadian. Sehingga media bukan menjadi alat menyebar perilaku tersebut tapi malah alat publikasi permerintah tentang ancaman hukuman pelaku kejahatan dan diharapkan dengan itu timbul efek jera bagi calon pelaku kejahatan.
Pengulangan kejadian ini merupakan bukti ketidakadilan dan tiadanya efek jera hukum di Indonesia. Seharusnya hukum yang diterapkan setimpal namun pada kenyataannya tidak. Seperti membunuh dalam kriteria tertentu bahkan bisa hanya mendapat hukuman 6 tahun penjara, yang seharusnya hukuman mati atau minimal hukuman seumur hidup.