Penipu, Menghilangkan Nurani dan Mengeraskan Hati


Oleh. Arif Rahman Pradana

Malam itu sekitar pukul 23 sepulang saya dari jatinangor saya berjalan di lorong pertokoan Jembatan Merah Bogor, sepanjang jalan terlihat sekitar 10-20 orang tidur di pelataran toko yang hanya 2,5 meter jaraknya dari jalan raya. Beragam orang yang tidur disana, dari tukang becak, pengemis, wanita dan anaknya, bahkan ada juga orang gila. Situasi ini masih persis sama seperti 6 bahkan 9 tahun lalu ketika saya masih SMP. Tidak ada perubahan yang semakin baik bahkan situasi ini bertambah buruk.
Kesokan harinya ketika saya diperjalanan untuk membeli oleh-oleh asinan bogor di daerah Sukasari, saya melewati Pasar Bogor (sekitar Kebun Raya Bogor) saat itu sekitar pukul 13 saya melihat pula seorang tidur di pinggir jalan namun pinggir jalan yang ini bukan di terotoar tapi benar-benar dipinggir jalan hanya berjarak sekitar setangah meter dari lalu-lalang ban angkutan umum (angkot). Saya sendiri yang saat itu menggunakan sepeda motor merasa bingung beragam pikiran di benak saya, antara orang itu sudah mati ataukah sedang tidur, bila tidur mengapa tidur dijalanan dan bila mati kenapa orang disekitar tidak mengamankannya, entahlah. Dan tentang asal muasal orang itu saya juga bingung, entah seorang pengemis atau orang gila. Yang jelas saat itu saya tidak punya keberanian dan tidak tau harus berbuat apa kepada orang tersebut, namun satu perasaan yang sama dari semua yang saya lihat saya merasa sangat miris dengan keadaan tersebut, betapa tidak adil negara ini, para pejabat diatas sana yang sudah memiliki kekayaan melimpah tetap saja merasa tidak cukup dan mengeruk terus uang rakyat dengan cara korupsi!
Namun bukan tentang korupsi yang ingin saya bahas disini, dari fakta diatas tentang penderitaan sebagian kecil rakyat saya merasa sangat kecewa! Sesungguhnya orang yang mesti dibantu itu banyak. Namun semua itu terkabur atau tersamarkan oleh banyak orang yang melakukan penipuan untuk mendapatkan rupiah dari orang yang merasa berbelas kasihan kepadanya. Banyak kisah dari fakta-fakta yang ada yang saya baca dan lihat tentang pengemis yang sesungguhnya memiliki harta berlimpah dikampung halamannya, bahkan memiliki kontrakan yang banyak.
Dan saya mendapat cerita dari seorang teman yang telah mengadakan kegiatan di kampusnya dan mengundang para pengamen jalanan untuk diajak pindah profesi, namun pengamen tersebut enggan karena penghasilannya sebagai pengamen lebih besar (100rb/hari) dari profesi yang ditawarkan. Bayangkan 200rb/hari berarti sekitar 6juta perbulan penghasilan ini berkalilipat lebih besar dari gaji seorang PNS baru. Namun hal tersebut tidak terlalu bermasalah untuk saya karena pengamen tersebut mendapatkan uang tersebut atas hasil bekerja (mengamen/menyanyi). Kekhawatiran itu muncul ketika melihat dipojokan jalan pengamen tersebut menghisap tembakau yang saat ini memang merebak di Indonesia (baca: rokok), tidak jarang meneguk beberapa botol minuman keras, dan menghisap aibon. Saya tidak rela uang yang saya berikan dipergunakan untuk hal-hal semacam itu.
Pengalaman saya pribadi bertemu dengan seorang ibu di pinggir jalan dekat pangkalan polisi pangdam yang meminta ongkos untuk pulang, ia beralasan dompetnya dicuri sehingga ia tidak bisa pulang ke Majalaya. Akhirnya saya berikan sedikit uang (tidak bermaksud Ria) namun beberapa saat kemudian setelah saya menyebrang jalan dan melihat ibu-ibu tadi ternyata ibu tersebut sedang menghitung beberapa lembar uang yang jumlahnya saya kurang tahun namun terlihat cukup tebal dan ada beberapa lembar uang 10rb disana. Padahal ongkos ke majalaya tidak sebanyak itu.
Ada lagi orang yang mengemis dengan berbagai macam luka bakar di sekujur tubuhnya, namun dari televisi yang saya lihat, sebagian dari pengemis tersebut melumuri tubuhnya dengan lem yang pada akhir pengerjaannya sangat mirip seperti luka bakar yang masih basah. lebih mengherankan lagi ada pengemis yaitu seorang ibu di dekat tempat tinggal saya di jatinangor bertubuh gemuk (bukan buncit). Kalau buncit saya bisa beranggapan ia memiliki penyakit namun bila gemuk apakah itu karena kelebihan makan? Kalau kelebihan makan berarti kelebihan uang dan kalau kelebihan uang mengapa mengemis?
Tentang seorang anak yang mengemis sampai saat ini juga menjadi dilema, ketika anak tersebut selalu kita beri uang maka anak tersebut akan terus digunakan oleh orang tuanya untuk mengemis bukannya sekolah karena potensial untuk menghasilkan uang banyak, namun bila tidak diberi bisa jadi anak tersebut benar-benar sebatang kara.
Ketika orang-orang tadi berusaha dengan berdagang untuk mendapatkan uang itupun masih mencurigakan, seperti penjual mangga asongan di bus-bus atau kereta yang kabarnya sebagian menggunakan pewarna tekstil, menjual gorengan menggunakan campuran plastik, dll. Semua fakta diatas membuat saya kesal dan benar-benar bisa mengeraskan hati karena tidak tahu mana yang meminta atau menjual dan benar-benar membutukan dan mana yang meminta atau menjual karena profesi atau menipu. ini bukan tentang uang tapi tentang kebenaran dan bagaimana caranya menghukum para penipu tersebut.

0 komentar: