Oleh :
Nanung Danar Dono, S.Pt., M.P.[1]
Saat ini umat Islam banyak dihadapkan pada tudingan-tudingan
negatif, sebagai contoh, kita semua tahu bahwa setiap tahun masyarakat Islam
merayakan ibadah Qurban. Ibadah tersebut merupakan perwujudan persembahan
terbaik kita kepada Allah Swt. Ibadah Qurban dilaksanakan melalui prosesi
penyembelihan hewan qurban (sapi, kambing, domba, unta, dll.) dengan cara
tertentu. Daging-daging binatang qurban tersebut dibagi-bagikan kepada fakir
miskin, masyarakat, dan sanak kerabat.
Akan tetapi, kelebihan ini sering dikaitkan dengan suatu hadits
‘unik’ yang sering ‘diartikan lain’. Hadist tersebut berbunyi: Rasulullah SAW.
bersabda : “Sesungguhnya Allah menetapkan kebaikan (ihsan) pada segala sesuatu,
maka jika kalian membunuh hendaklah kalian berbuat ihsan dalam membunuh, dan
apabila kalian menyembelih, maka hendaklah berbuat ihsan dalam menyembelih,
(yaitu) hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisaunya agar
meringankan binatang yang disembelihnya” (HR. Muslim).
Hadits ini nampaknya agak sulit untuk dijelaskan. Betapa tidak,
di dalamnya terkandung kalimat bahwa seakan Allah memerintahkan kita untuk
‘membunuh’, apalagi ada kata-kata, “…tajamkanlah pisaunya…!” Bukankah ini
menunjukkan bahwa umat Islam memang dilatih untuk membunuh dengan kejam. Bahkan
yang lebih aneh lagi, ada kalimat, “…meringankan binatang yang disembelih!”
(Aneh, khan?! Masak membunuh koq pakai kalimat basa-basi ‘meringankan binatang
yang disembelih’! Padahal kita tahu, disembelih khan tentunya sakit sekali!?).
Lalu, bagaimana cara menyikapinya? Menolak tanpa bisa memberi
argumen (bantahan) atau menerima dengan setengah hati? Sebegitu sulitkah kita
meyakinkan diri bahwa Syari’at Islam adalah syari’at yang terbaik?
Subhaanallah, di tengah-tengah kegundahan umat Islam, dengan
sengaja Allah Swt. telah kirimkan jawabannya. Allah Swt. menugaskan 2 orang
staf ahli peternakan dari Hanover University, sebuah universitas terkenal di
Jerman. Beliau berdua adalah Prof. Dr. Schultz dan koleganya, Dr. Hazim. Berdua
beliau memimpin suatu tim penelitian terstruktur untuk menjawab pertanyaan:
manakah yang lebih manusiawi dan paling tidak sakit, penyembelihan secara
Syari’at Islam (tanpa proses pemingsanan) , atau penyembelihan dengan cara
Barat (dengan pemingsanan) .
Beliau berdua merancang penelitian sangat canggih mempergunakan
sekelompok sapi yang telah cukup umur (dewasa). Pada permukaan otak kecil
sapi-sapi tersebut dipasang elektroda tertentu (microchip) yang disebut
Electro-Encephalogr aph (EEG). EEG dipasang pada permukaan otak yang menyentuh
titik (panel) rasa sakit di permukaan otak. Alat ini dipakai untuk merekam dan
mencatat derajat rasa sakit sapi ketika disembelih. Pada jantung sapi-sapi
tersebut juga dipasang Electro-Cardiograph (ECG) untuk merekam aktivitas
jantung saat darah keluar.
Untuk menekan kesalahan, sapi dibiarkan beradaptasi dengan EEG
dan ECG (yang telah terpasang) beberapa minggu. Setelah masa adaptasi dianggap
cukup, separuh sapi disembelih secara Syari’at Islam dan separuh sisanya
disembelih secara metode Barat.
Syari’at Islam menuntunkan penyembelihan dilakukan dengan
menggunakan pisau yang sangat tajam dengan memotong 3 saluran pada leher bagian
depan (saluran makanan, saluran nafas, serta 2 saluran pembuluh darah, yaitu :
arteri karotis dan vena jugularis). Syari’at Islam tidak merekomendasikan
pemingsanan. Sebaliknya, Metode Barat (Western Method) mengajarkan ternak
dipingsankan dahulu sebelum disembelih.
Selama penelitian, EEG dan ECG pada seluruh ternak dicatat untuk
merekam keadaan otak dan jantung semenjak sebelum pemingsanan (atau
penyembelihan) hingga hewan ternak benar-benar mati. Nah, hasil penelitian
inilah yang kita tunggu-tunggu!
Hasil penelitian Prof. Schultz dan Dr. Hazim di Hanover
University Jerman adalah sebagai berikut :
Penyembelihan menurut tuntunan Syari’at Islam
Pertama, pada 3 detik pertama setelah disembelih (dan ketiga
saluran pada leher sapi bagian depan terputus), tercatat tidak ada perubahan
pada grafik EEG. Hal ini berarti bahwa pada 3 detik pertama setelah disembelih
tidak ada indikasi rasa sakit.
Kedua, pada 3 detik berikutnya, EEG pada otak kecil merekam
adanya penurunan grafik secara gradual (bertahap) yang sangat mirip dengan
kejadian deep sleep (tidur nyenyak) hingga sapi-sapi tersebut benar-benar
kehilangan kesadaran. Pada saat tersebut, tercatat pula oleh ECG bahwa jantung
mulai meningkat aktivitasnya.
Ketiga, setelah 6 detik pertama tersebut, ECG pada jantung
merekam adanya aktivitas luar biasa dari jantung untuk menarik sebanyak mungkin
darah dari seluruh anggota tubuh dan memompanya keluar. Hal ini merupakan
refleks gerakan koordinasi antara jantung dan sumsum tulang belakang (spinal
cord). Subhaanallah, pada saat darah keluar melalui ketiga saluran yang
terputus di bagian leher tersebut, grafik EEG tidak naik, tapi justeru drop
sampai ke zero – level (angka nol). Diterjemahkan oleh kedua ahli tersebut
bahwa, “No feeling of pain at all!” (tidak ada rasa sakit sama sekali!) Allaahu
Akbar! Walillaahil hamdu!
Keempat, oleh karena darah tertarik dan terpompa oleh jantung
keluar tubuh secara maksimal, maka dihasilkan healthy meat (daging yang sehat)
yang layak dikonsumsi oleh manusia. Jenis daging semacam ini sangat sesuai
dengan prinsip Good Manufacturing Practice (GMP) yang menghasilkan Healthy
Food.
Penyembelihan ala Barat (Western Method)
Pertama, segera setelah dilakukan proses stunning (pemingsanan)
, sapi terhuyung jatuh dan collaps. Setelah itu, sapi tidak bergerak-gerak lagi
sehingga mudah dikendalikan. Oleh karena itu, sapi dapat dengan mudah
disembelih, tanpa meronta-ronta, dan (nampaknya) tanpa rasa sakit. Pada saat
disembelih, darah yang keluar hanya sedikit (tidak sebanyak bila disembelih
tanpa proses stunning).
Kedua, segera setelah proses pemingsanan, tercatat adanya
kenaikan yang sangat nyata pada grafik EEG. Hal tersebut mengindikasikan adanya
tekanan rasa sakit yang diderita oleh ternak (pada saat kepalanya dipukul).
Ketiga, grafik EEG meningkat sangat tajam dengan kombinasi
grafik ECG yang drop ke batas paling bawah. Hal ini mengindikasikan adanya
peningkatan rasa sakit yang luar biasa sehingga jantung berhenti berdetak lebih
awal. Akibatnya, jantung kehilangan kemampuannya untuk menarik darah dari
seluruh organ tubuh serta tidak lagi mampu memompanya keluar dari tubuh.
Keempat, oleh karena darah tidak tertarik dan tidak terpompa
keluar tubuh secara maksimal, maka dihasilkan unhealthy meat (daging yang tidak
sehat), sehingga tidak layak dikonsumsi oleh manusia. Disebutkan dalam khasanah
ilmu dan teknologi daging (dipelajari di Fak. Peternakan UGM), bahwa timbunan
darah (yang tidak sempat keluar pada saat ternak mati/ disembelih) merupakan
tempat yang sangat ideal bagi tumbuh kembangnya bakteri pembusuk yang merupakan
agen utama perusak kualitas daging.
Maha Suci Allah! Meronta-ronta dan meregangkan otot pada saat
ternak disembelih ternyata bukanlah ekspresi rasa sakit! Sangat jauh berbeda
dengan dugaan kita sebelumnya! Bahkan mungkin sudah jamak menjadi keyakinan
kita bahwa setiap darah yang keluar dari anggota tubuh yang terluka pastilah
disertai rasa sakit dan nyeri. Lebih-lebih yang terluka adalah leher dengan
luka terbuka yang menganga lebar…!
Hasil penelitian Prof. Schultz dan Dr. Hazim berhasil
membuktikan bahwa pisau yang mengiris leher (ref. Syari’at Islam) tidaklah
‘menyentuh’ saraf rasa sakit. Oleh karenanya, beliau berdua menyimpulkan bahwa
sapi meronta-ronta dan meregangkan otot bukanlah ekspresi rasa sakit, tetapi
hanyalah ekspresi ‘keterkejutan otot dan saraf’ saja (yaitu pada saat darah
mengalir keluar dengan deras). Mengapa demikian? Tentunya, hal ini tidak
terlalu sulit dijelaskan (grafik EEG tidak menunjukkan adanya rasa sakit).
Apabila telah disembelih, tetapi sapi tidak segera mati,
bolehkah kita menusuk jantungnya?
Sering kita melihat bahwa setelah disembelih, banyak sapi yang
tidak segera mati. Seringkali pula kita merasa kasihan, sehingga muncul ide di
benak kita untuk menusuk jantungnya. Sikap ini umumnya berawal dari
kekhawatiran kita kalau-kalau sapi terlalu lama menahan sakit.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Blackmore (1984), Daly et
al. (1988), Blackman et al. (1985), dan Anil et al. (1995) di 4 negara yang
berbeda membuktikan bahwa setelah disembelih, sapi memerlukan waktu lebih lama
untuk benar-benar mati. Hal ini diduga disebabkan oleh ukuran tubuh sapi yang
lebih besar dibandingkan kambing, domba, rusa, ayam, dll. Untuk itu, sebaiknya
kita menunda hingga sapi benar-benar mati dan tidak perlu menusuk jantungnya.
Bila kita menusuk jantungnya, maka jantung akan sobek dan kehilangan fungsinya
untuk memompa darah, sehingga darah tidak dapat maksimal terpompa keluar tubuh.
Selain itu, sobeknya jantung diduga akan menimbulkan kejutan rasa sakit yang
amat sangat bagi hewan ternak yang bersangkutan.
[1] Sekretaris Eksekutif LPPOM Majelis Ulama Indonesia Propinsi
DIY dan Dosen Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta. Mobile phone : 081 2277 6763